Thomas Muller Sang Penafsir Ruang


Berbeda dengan Messi dan Ronaldo yang sangat-sangat proaktif, Thomas Muller adalah pemain reaktif-adaptif. Lionel Messi adalah false 9 tulen yang dengan aktif menampilkan skill individunya yang berusaha merobek pertahanan lawan. Sementara lain lagi dengan Ronaldo, yaitu tipe striker melebar cepat dalam penetrasi serangan balik. Lawan selalu dituntut dalam menyesuaikan permainan keduanya. Nah, hal bertolak belakang terjadi dengan Thomas Muller. Muller justru melihat dan menafsirkan dulu bagaimana taktik bertahan lawan dilakukan, lalu kemudian beradaptasi dengan mengeksplorasi lubang-lubang yang tersedia.

Pemain biasa saja

Kegilaan cara bermain Thomas Muller menjadi fenomena baru di sepak bola modern. Kehadirannya di posisi yang tepat pada waktu yang tepat saat berlaga di lapangan juga terjadi pada perjalanan karirnya.

Setelah menjalani musim impresif bersama FC Bayern II di Bundesliga Divisi 3, Muller berhasil meraih kontrak penuh di tim utama pada musim 2009/2010. Untuk mematangkannya, direktur Bayern ketika itu berencana meminjamkannya ke klub kecil.

Rencana tersebut gagal. Kehadiran Muller di tim utama terjadi bersamaan dengan hadirnya Louis van Gaal. Sebagai pelatih yang tergila-gila pada taktik, Van Gaal melihat sosok Muller sebagai sosok yang potensial.

Van Gaal kemudian bukan saja memberi kesempatan bermain, tetapi juga peran penting sebagai pemain no. 10 pada formasi 1-4-2-3-1-nya*. Kepercayaan dari Van Gaal di Bayern ini akhirnya berujung pada pemanggilan Muller ke Nationalmannschaft.

Sebagai pemain kelas dunia, Muller sejatinya tidak punya keistimewaan dari segi teknikal. Kaki kiri, kaki kanan dan kepalanya memang “hidup”, tetapi tidak ada satu pun atribut teknisnya yang bisa dibilang super.

Muller tidak terlalu cepat dan kuat secara fisik. Ia malah sering dilabeli sebagai “tukang diving” karena seringnya ia terjatuh. Ini dibantahnya dengan mengatakan bahwa ia memang lemah dalam duel jarak dekat. Kemudian, soal olah bola pun kelasnya medioker. Dribel dan gocekannya (dalam situasi 1v1) sama sekali tidak istimewa.

Berbeda seperti Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo yang sangat proaktif, Muller adalah pemain reaktif-adaptif. Messi adalah false nine tulen yang secara aktif dengan skill individunya berusaha menyobek pertahanan lawan. Sementara itu, Ronaldo adalah tipe striker melebar yang cepat dalam penetrasi dan serangan balik. Lawan selalu dituntut untuk menyesuaikan dengan permainan keduanya. Nah, hal bertolak belakang terjadi dengan Muller. Ia justru melihat dulu bagaimana taktik bertahan lawan, baru kemudian beradaptasi dengan dengan mengeksplorasi lubang-lubang yang tersedia.

Kemampuan teknikal Muller yang biasa saja membuatnya memiliki kemampuan membaca permainan ulung. Muller selalu bisa melihat situasi permainan, melihat di mana adanya ruang dan mengambil posisi tepat di ruang tersebut.

Kecerdikan dalam posisi berdirinya membuat ia memiliki lebih banyak ruang dan pastinya ia lebih punya banyak waktu untuk mengambil keputusan. Tentu saja, keputusan dan eksekusi sepak bolanya jadi begitu prima.

Selain kelihaian pergi ke ruang kosong di antara lawan, ia juga sangat pandai melihat posisi kawan yang berada pada arah serang tim. Ia tidak sekadar pergi mencari ruang kosong, tetapi mencari ruang kosong yang dekat dengan pemain lain, sehingga kehadirannya di ruang tersebut mampu menciptakan jumlah lebih, baik itu situasi 2v1 atau 3v2.

Bagi pemirsa awam, Muller tak ubahnya pemain “ngacak” yang pergi ke sana kemari tanpa tujuan. Saat bermain sebagai pemain no. 10 atau no. 9, ia sering bermain melebar dan turun menjadi gelandang.

Saat bermain sebagai pemain no. 7*, ia justru sering bermain lebih ke dalam dan ke depan. Semua itu tidak ia lakukan secara instingtif, melainkan lewat hasil observasi. Sebelum mengambil tindakan, ia selalu mengamati ke mana ia harus berlari demi menciptakan situasi overload di area tertentu.

Pengambilan posisinya seringkali memancing lawan untuk bereaksi, sehingga ruang baru pun terbuka untuk rekan-rekannya. Tak heran, Muller termasuk pemain yang secara statistik jarang menyentuh bola. Bahkan, jumlah sentuhannya seringkali lebih sedikit dibanding kiper Manuel Neuer sekalipun.

Produk sistem

Gaya bermain Thomas Muller memang unik dan fenomenal. Ia menjuluki dirinya sebagai Raumdeuter. Dalam bahasa Inggris, “raumdeuter” berarti “space investigator”, atau dalam bahasa kita bisa ditafsirkan secara bebas menjadi “penafsir ruang”.

Rob Brown, seorang pandit papan atas menulis sebuah analogi cerdas. Thomas Muller adalah Clark Kent saat ia menguasai bola. Sederhana dan begitu rendah hati. Seketika saat temannya menguasai bola, Muller pun menjelma menjadi Superman.

Kemunculan Thomas Muller diyakini bukanlah suatu kebetulan. Ia merupakan representasi produk sebuah sistem canggih yang telah direncanakan jauh-jauh hari.

Pasca-Euro 2000, di mana tim Panser terjerembab di fase grup, Federasi Sepak Bola Jerman (DFB) melakukan revolusi pada sistem pembinaannya. Salah satu poin penting adalah pembinaan sepak bola Jerman harus mampu mencetak pemain yang lebih memiliki teknik mumpuni dan kreativitas taktik.

Revolusi filosofi ini kemudian berimbas pada proses talent scouting. Setelah filosofi baru ditetapkan, para pemandu bakat Jerman harus lebih mengutamakan pemain-pemain berteknik ketimbang pemain yang besar, kuat dan cepat. Di samping talent scouting, akademi-akademi juga diminta untuk terus mengedepankan latihan yang berbasis pada pengembangan teknik-taktik sepak bola.

Langkah lain yang dilakukan DFB adalah menyewa jasa Marcel Lucassen, pelatih spesialis teknik sepak bola yang bekerja untuk tim nasional junior seluruh kelompok usia. Penulis yang kebetulan pernah berkesempatan mengikuti kursus Football Technique dengannya menjadi tidak heran dengan kemunculan pemain cerdas seperti Thomas Muller.

Filosofi latihan yang ditawarkan Lucassen adalah latihan teknik sepak bola berbasis 11vs11. Secara ekstrem, Lucassen bahkan mengatakan bahwa latihan teknik sepak bola terbaik adalah Game 11vs11. Tentu saja, pada level tertentu, Game 11vs11 harus disederhanakan menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti 4v4, 4v2, 4v1, 4v0, hingga 1. Hanya saja, apapun bentuknya, latihan teknik tidak boleh keluar dari konteks Game 11vs11.

Konteks Game 11vs11 ini terkait dengan Posisi, Momen, Arah dan Kecepatan. Semua latihan teknik yang dibuat harus mencakup keputusan dan eksekusi empat aspek tadi dalam Game 11vs11. Jika tidak ada dalam Game 11vs11, maka itu bukan latihan teknik sepak bola yang tepat.

Filosofi di balik ini semua adalah karakteristik sepak bola itu sendiri. Tak seperti senam, misalnya, di mana teknik merupakan eksekusi teknik itu sendiri, di sepak bola, teknik adalah eksekusi dari keputusan. Jika aktivitas pembinaan sepak bola ingin menghasilkan pemain masa depan seperti Muller, maka semua latihan teknik pun harus berbalut dengan latihan pengambilan keputusan.

Pemain penentu

Kemenangan di sepak bola selalu ditentukan oleh gol penting. Gol menjadi penting ketika ia tercipta lewat sebuah proses yang spektakuler atau pada waktu yang tepat dan menentukan.

Terjadinya sebuah gol selalu diawali oleh proses taktikal yang rumit, di mana semua pemain memainkan fungsi masing-masing sesuai taktik tim. Tak hanya itu, mereka juga harus menyesuaikan dengan situasi yang terjadi akibat bentrokan dengan taktik lawan.


Pemain masa depan

Berbagai deskripsi di atas membawa kita pada suatu kesimpulan bahwa Thomas Muller adalah purwarupa pemain masa depan yang ideal. Sepak bola modern, semakin hari semakin compact saja, khususnya dalam hal bertahan. 

Kondisi ini membutuhkan pemain yang bisa senantiasa mencari dan menciptakan ruang yang dapat dieksploitasi oleh dirinya, maupun rekan-rekannya seperti Muller. Kriteria ideal lainnya adalah kemampuan Muller bermain pada berbagai posisi. Kemampuan mencari ruangnya membuat posisi bermain menjadi tak relevan.

Ini jelas sesuai dengan tren sepak bola modern yang tidak lagi zone-dependant (terkait posisi), melainkan space-dependant (terkait pada ruang). Muller dapat bermain sebagai pemain no. 7, 11, 10 ataupun 9. Sekadar meramal, tak menutup kemungkinan di masa tuanya kelak, Muller akan mengisi posisi no. 6.

Dua kemampuan di atas membawa pada pertimbangan teknis yang ekonomis. Pemain seperti Muller bisa menghemat penggantian pemain.

Utilitas dan fleksibilitasnya membuat pelatih dapat melakukan perubahan taktik tanpa harus mengganti pemain. Ia dapat berganti posisi sesuai kebutuhan. Bahkan, tanpa harus mengubah posisi, ia dapat mengubah fungsi dan cara bermainnya.

Penulis kini menunggu para pembina usia muda Indonesia untuk mampu “mencari ruang” agar dapat mencetak pemain jadi luar biasa justru karena biasa saja.

Ditunggu, Thomas Muller Indonesia! <>

*)Sistem penomoran posisi yang digunakan adalah sistem Spanyol/Belanda. 1 = kiper, 2 = bek kanan, 3 = bek tengah kanan, 4 = bek tengah kiri, 5 = bek kiri, 6 = gelandang bertahan, 7 = sayap kanan, 8 = gelandang bertahan/serang (box to box), 9 = striker, 10 = gelandang serang/second striker, 11 = sayap kiri.

**False nine adalah istilah untuk pemain no. 9 yang memainkan peran striker palsu. Disebut palsu, karena ia selalu pergi ke area tengah untuk menjadi gelandang atau area pinggir menjadi sayap. Pertama kali dimainkan oleh Matthias Sindelar (Austria) pada Piala Dunia 1934. Pada era modern, false nine kembali dipopulerkan oleh Lionel Messi.

Posting Komentar untuk "Thomas Muller Sang Penafsir Ruang"